Isa Al-Masih 4

Share
(lanjutan Isa Al-Masih 3)
"Dan perkataan mereka: 'Bahwa kami telah membunuh 'Isa al-Masih putera Maryam, utusan Allah', padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi disamarkan kepada mereka. Orang-orang yang berselisihan tentangnya selalu dalam keraguan mengenainya. Tiada pengetahuan mereka kecuali mengikuti dugaan, dan tidaklah mereka membunuhnya dengan yakin. Tetapi Allah telah mengangkat 'Isa kepada-Nya; karena Allah itu Gagah nan Bijaksana"
(Qs. An-Nisa' 4:157-158)
Penafsiran diatas ini adalah penafsiran yang sangat umum sekali bisa kita jumpai dalam masyarakat Muslim kebanyakan (mainstream) meskipun sekali lagi ini bukan satu-satunya penafsiran yang ada.

Sayangnya Departemen Agama RI sehubungan dengan Surah an-Nisa' ayat 157 telah mencampuradukkan terjemahan tersebut dengan pemahaman atau penafsiran mayoritas yang ada sebagaimana bisa kita lihat dalam al-Qur'an dan Terjemahan mereka berikut ini :

Dan karena ucapan mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, TETAPI (YANG MEREKA BUNUH IALAH) ORANG YANG DISERUPAKAN DENGAN 'ISA BAGI MEREKA.

Ada ketidakjujuran pada terjemahan tersebut, dimana tim penterjemah Departemen Agama RI telah melakukan interpolasi ayat, khususnya adanya penambahan yang bisa membuat arti ayat tersebut menjadi berbeda.

Padahal arti kata Syubiha lahum adalah samar, penyamaran atau disamarkan kepada mereka (maksud mereka disini merujuk pada orang-orang yang melakukan penyaliban itu yaitu tentara Romawi dan para Rabi Yahudi).

Bagaimana bisa sampai Departemen Agama RI menterjemahkan istilah penyamaran menjadi orang yang diserupakan dengan 'isa ?

Adalah syah dan lumrah saja bila para penterjemah itu berkeyakinan Nabi Isa tidak disalib dan masih hidup dilangit sampai sekarang dan kelak akan turun lagi kebumi ini. Namun secara obyektif pemandangan ini tidak bisa dijadikan terjemahan dari kata Syubiha lahum karena dia hanya berbentuk penafsiran dan bukan arti dari kata Syubiha lahum itu sendiri.

Adapun terjemahan yang seharusnya adalah sebagaimana dituliskan pada bagian atas yang akan kita tuliskan lagi :

"Dan perkataan mereka: 'Bahwa kami telah membunuh 'Isa al-Masih putera Maryam, utusan Allah', padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi disamarkan kepada mereka. Orang-orang yang berselisihan tentangnya selalu dalam keraguan mengenainya."

Bagaimana cara penyamaran ini sebenarnya terjadi itulah titik awal timbulnya dua pendapat tadi, bahwa ada yang berpendapat penyamaran dilakukan terhadap diri Isa al-Masih dengan proses substitusi wajah Yudas dan ada pula yang berpendapat bahwa penyamaran itu dilakukan dengan membuat Isa al-Masih seolah berhasil dibunuh padahal beliau hanya dipingsankan oleh Tuhan yang akhirnya disembuhkan oleh salah satu murid rahasianya sebagaimana kisah-kisah ini bisa ditemui didalam beberapa kitab Injil umat Kristen.

Lebih jauh lagi, ulama yang berpendapat penyamaran itu berdasarkan substitusi wajah dan perawakan Yudas iskariot mendasarkan pula kajiannya terhadap ayat berikut :

Ketika Allah berkata: "Hai 'Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu serta akan membersihkan kamu dari mereka yang kafir..." (QS. 3:55)

Lagi-lagi para mufassir Islam berbeda pendapat mengenai ayat diatas.
Perbedaan tersebut berawal dari penterjemahan ayat "Tawaffa" (mewafatkanmu).
Makna dari "Tawaffa" adalah "Imatah" (mematikan).

Kata "Tawaffa" tidak menunjukkan waktu tertentu dan juga tidak menunjukkan bahwa kematian itu telah berlalu, namun Allah Swt mewafatkannya kapan saja. Yang jelas tidak ada dalil bahwa waktunya telah berlalu.

Mengenai bersambungnya kata "Mutawafika" dengan kata "Warofi'uka" tetap tidak menunjukkan satu hubungan yang sifatnya berurutan. Sejumlah ahli bahasa sepakat berpendapat bahwa kata sambung /wau/ itu tidak memberi faedah urutan waktu dan tidak pula Jama' (mengumpulkan) akan tetapi memberi faedah Tasyrik (keikutsertaan).

Hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah yang menyatakan penciptaan langit dan bumi, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan penciptaan bumi lebih dahulu seperti dalam Surah Al Baqarah 29 dan surah Thaha 4. Akan tetapi terdapat lebih banyak ayat2 dimana langit-langit disebutkan sebelum bumi (Surah Al A'raaf 54, Surah Yunus 3, Surah Hud 7, Surah Al Furqaan 59, Surah As-sajadah 4, Surah Qaf 38, Surah Al Hadied 4, Surah An-Naazi'aat 27 dan Surah As Syams 5 s/d 10).

Jika kita tinggalkan surah An-Naazi'aat, tak ada suatu paragrafpun dalam Al Quran yang menunjukkan urutan penciptaan secara formal.

Ditinjau secara langsung kedalam bahasa arab yang terdapat hanya huruf /Wa/ yang artinya "dan" serta fungsinya menghubungkan dua kalimat. Terdapat juga kata "tsumma" yang berarti "disamping itu" atau "kemudian dari pada itu". Maka kata tersebut dapat mengandung arti urut-urutan. Yaitu urutan kejadian atau urutan dalam pemikiran manusia tentang kejadian yang dihadapi. Tetapi kata tersebut dapat juga berarti menyebutkan beberapa kejadian-kejadian tetapi tidak memerlukan arti urutan-urutan.

No comments:

Post a Comment