Tentang Kesabaran

Share
Mekah, Kisah Kesabaran Pertama; Biasanya di hari Jum’at jama’ah umrah membludak. Banyak orang yang berdomisili di sekitar Mekah, apakah itu min ahlil balad –pribumi- atau para pekerja melaksanakan umrah, karena hari itu libur. Ya, libur pekanan di Saudi pada hari Kamis dan hari Jum’at. Jama’ah tambah banyak memenuhi Masjidil Haram karena ingin melaksanakan shalat Jum’at. Pagi itu, pukul 07.30 kami dijemput Mang Sulaiman, driver yang sudah sepuluh tahun kerja di Saudi. Beliau termasuk yang dipercaya oleh bosnya.  Bahkan ketika beliau mau pindah kerja, tidak dibolehkan. Bargaining beliau cukup kuat; Ok, saya mau lanjut, tapi dengan dua syarat; gaji naik dan setiap hari Jum’at diperbolehkan melaksanakan umrah, tentu pake mobil bos. Kedua syarat itu dipenuhi oleh bosnya.

Ternyata Mang Sulaiaman yang asli orang Cirebon itu tidak sendiri. Beliau bertiga. Kami semua memakai baju Ihram. Kami menuju Miqat terdekat, yaitu ke arah Tan’in, atau ke Masjid Aisyah. Di Tan’im ada Tugu Hudud Haram –batas tanah Haram-. Kami shalat sunnah dua rekaat. Kami masuk kembali menuju arah Masjidil Haram dengan bertalbiyah; “Labbaika umratan li… labbaikallaahumma labbaiik, labbaika laa syariikala laka labbaiik. Innal hamda wanni’mata laka wal mulk laa syariikalak.”
Kami parkir di syuqqah –gang masuk- sekitar funduk –hotel-, dekat Masjidil Haram, sekitar 200 meter. Kita janjian ketemuan di Marwa, setelah Tahallul. Yang selesai duluan nunggu di Marwa. Temen-temen terlebih dahulu masuk masjid menuju Thawaf. Saya mampir ke daurah miyah untuk buang air dan memperbaharui wudhu. Rupanya di daurah miyah berjubel jama’ah. Lantai satu daurah miyah ditutup karena sedang dibersihkan. Semua harus ke bawah lagi, naik eskalator. Di lantai dua antrian panjang. Di sinilah ujian kesabaran itu. Nunggu cukup lama. Kamar mandi yang di depan saya tidak keluar-keluar, padahal pintu-pintu yang lain sudah pada keluar-masuk gantian orang. Sabar menunggu, meski harus menahan buang air, dan juga karena ketinggalan dari temen-temen yang sudah memulai thawaf. Ya, harus sabar, tidak boleh menyalahkan orang, tidak boleh bersu’uzhan. Ya, di Masjidil Haram niat harus lurus, sikap harus dijaga, nahfsu harus direm. Yang dikedepankan adalah berbaik sangka, menolong, dan sabar.
Saya bayangkan di musim haji. Dua ratus juta orang lebih dari seluruh penjuru dunia datang untuk memenuhi panggilan Allah. Meskipun tidak semuanya berada di Mekah, ada yang di di Masjid Nabawi, Madinah terlebih dahulu. Saya bayangkan, betapa penuhnya Masjidil Haram ketika musim itu. Subhanallah! Ujian kesabaran jauh lebih berat. Meskipun hanya untuk sekedar buang air kecil.
Kisah Kesabaran Kedua; Ketika kami bertiga berangkat melaksanakan umrah bakda shalat Maghrib. Kami menuju Miqat terdekat, yaitu Tan’im. Kami naik taksi. Kami sampaikan ke ammu sopir taksi –karena sudah cukup umur orangnya-, “Kami hanya ganti baju Ihram, shalat sunnah dua rekaat dan langsung berangkat ke Haram.” Jelas kami. Karena target kami bisa shalat Isya’ di Masjidil Haram. Entah apa yang ada dalam benak ammu sopir itu, ia ikut nyebarang, ia mengikuti kami menuju Masjid Aisyah.
Kami balik lagi ke tempat parkir mobil. Ammu sopir tidak kelihatan. Kami celingak-cilinguk mencari-cari dia. Tidak kunjung tiba juga, wah ada apa dengan ammu sopir itu? Sempat muncul rasa curiga. Jangan-jangan dia sengaja berlama-lama di sini, nanti dia minta ongkos lebih dari 20 real, di luar kesepakatan kami. Inilah ujian kesabaran. Kita harus lebih banyak belajar untuk sabar. Meskipun belum masuk wilayah Haram, masih di luar Tugu Hudud Haram, kami tetap tidak boleh bersu’uzhan kepadanya.
Lama menuggu, kami cari-cari tempat duduk. Ternyata di depan parkir mobil taksi ada maktab –kantor- traffel haji dan umrah, yang salah satu pekerjanya orang Indonesia, kami numpang masuk ke dalam. Ngobrol kenal dengan anak muda dari Indonesia itu. Tau-tau dia keluar ke kantor sebelah, tidak berapa lama ia balek lagi membawakan teh manis hangat, gelas kecil ala Saudi.
Ammu sopir tidak kembali-kembali juga. Akh Ain berinisiatif menemui syurthoh atau bulis alias polisi. “Kalau setengah jam lagi tidak kembali, tinggal saja.” Katanya. Kami tidak kepikiran untuk meninggalkan beliau, karena dia tahu tempat tinggal kami, dia tahu kita mahasiswa Rabithoh, nanti ia bisa menuntut macem-macem, bisa repot. Belum tiga puluh menit, adzan Isya’ berkumandang di masjid Aisyah itu. Kami putuskan tas-tas bawaan, kami titip di maktab traffel tersebut. Ya, kali ini masing-masing kami membawa tas, tempat baju salin, karena rencananya malam Jum’at itu kita mau I’tikaf atau Mabit di Masjidil Haram, rencananya juga pukul 24.00 ke atas mau cium Hajar Aswad. Informasi dari temen-temen mahasiswa yang mabit di atas jam itu Hajar Aswad sepi.
Kami naik penyebaran jalan lagi. Eh, di bawah jembatan ujung ammu sopir kelihatan celingak-celinguk cari orang. Saya tepuk bahunya, “Ya Ammu aina kunta? Ke mana saja? Nahnu hunaa nalbas libasal Ihram tsumma nattajih ilal haram? Dia tidak jawab, kayak orang bingung. “Nushallil Isya’ hunaa tsumma nughaadir mubaasyarah”. Ayo shalat Isya’ dulu, ajak kita
Takdir Allah juga yang menjadikan kita bisa shalat berjama’ah Isya’ di Masjid Asiyah itu. Seperti masjid-majsid Jami’ lainnya, apalagi Masjid tempat Miqat, Imam shalat bacaannya bagus. Ayat-ayat yang dibaca panjang-panjang. Khas Imam Masjidil Haram. Imam membaca surat Al-Haqqah dengan sangat khusyu’ dan sambil sesekali menangis, mengulang-ulang ayat-ayat tentang akhirat.
Setelah shalat Isya’, kami menuju Masjidil Haram, kami bertalbiyah sepanjang perjalanan. Menjelang sampai di Masjidil Haram, jalanan macet, praktis jama’ah shalat Isya’ lagi bubaran. Macet panjang, kami nunggu cukup lama. Ammu sopir banting setir, balik lagi menjauh dari Masjidil Haram. Karena kami belum makrifah daerah sekitar Majsidil Haram, ada rasa curiga juga, wah ini ammu sengaja ngelama-ngelama-in, biar kita nambah ongkos!. Beliau ambil jalur lain, jalan pintas yang tidak macet. Alhamdulillah sampai kita di pelataran Masjidil Haram, terhindar dari macet. “Isyruuna real Yaa Walidii. Dua puluh real wahai orang tuaku.” Bahasa halus itulah yang saya ucapkan saat menyodorkan ongkos taksi. Dia tersenyum, menerima dengan senang hati. Kami berterima kasih. Alhamdulillah, ternyata pak tua itu baik ya. Tidak sedang ngerjain kita. Itulah buah kesabaran. Istighfar juga hati ini karena sempat bersu’uzhan terhadap beliau.
Kisah Kesabaran Ketiga; pada kesempatan lain saya berjumpa dengan seorang anak muda dari Brebes, namanya Nanang Rianto, dia kerja di Masjidil Haram bagian penjagaan Air Zam-Zam. Sebelum shalat Isya’ saya menghampirinya. Saya lihat raut letih di wajahnya. Saya tersenyum, bangga, menghibur dan menemani dia, ngobrol. Dia baru 6 bulan kerja di sana. Dari rumah ia optimis gajinya cukup untuk merubah nasib. “Dalam surat perjanjian, saya digaji bersih 800 real, ditambah uang makan dan tunjangan semuanya sekitar  1000 real.” kenang dia.
Untuk bisa sampai ke Saudi dia harus mengeluarkan modal 15 juta rupiah, untuk bayar ke PT yang memberangkatannya, bahkan katanya, ada temen yang sampai habis 22 juta rupiah, itu tergantung perantara yang menghubungkan dia dengan PT.
Sesampai di Saudi, impian yang selama ini dibayangkan sirna. Kenyataannya dia hanya menerima gaji bersih 350 real / bulan, ditambah uang makan 150 real / bulan, ditambah tunjuangan kesehatan dll 29 real / bulan. “Ini tidak cukup pak Haji” aku dia. Wah, saya dipanggil pak haji padahal saya belum haji. Saya amin dalam hati. Ya, rata-rata orang Indonesia yang di Saudi, terutama yang bekerja untuk urusan ibadah haji atau umrah, ketika ketemu sesama orang Indonesia menyapanya pak Haji. Sebagaimana orang Arab, menyapa orang-orang yang tidak ia kenal dengan panggilan; “Yaa Muhammad”.
Di sini kalau tidak diniatkan sekalian beribadah dan bersabar, kita tidak akan kuat bertahan. Katanya. Empat temen saya sudah pulang. Dua lagi sudah mengajukan pengunduran diri. Tidak betah. Gaji mereka tidak cukup. Apalagi temen-temen yang sudah berkeluarga, pasti tidak cukup. Dia bilang, semoga bisa balek modal. Kita kontrak 2 tahun, gaji 350 real perbulan, harus pandai-pandai nabung.
“Mesti sabar, kalau nasib bagus bisa dapat tambahan pemasukan dari orang-orang yang tidak kita kenal. Ya, ada aja yang ngasih.” Ucap dia. Dia masih punya optimisme. “Saya dengar pak SBY mau menaikkan gaji kita.” harapnya. “Tahu dari mana?” tanya saya. “Ya, waktu ada kasus penganiayaan TKW beberapa bulan lalu, pak presiden berjanji akan memperjuangkan gaji kami.”
Ternyata tidak hanya TKW-TKI kita yang bernasib buntung di kolong jembatan yang santer diberitakan bulan-bulan lalu. Pemerintah harus lebih serius mengadvokasi mereka, memperjuangkan nasib mereka. Bukankah mereka adalah “pahlawan” devisa negara.
Saya selipkan realan ke saku dia. Saya bilang sabar, semoga sukses dan berkah, dan jangan lupa doakan kita di tempat yang mulia ini. (Mekah, 20 Shafar 1432H)
http://gus-ulis.blogspot.com/2011/01/kisah-kesabaran.html

No comments:

Post a Comment