Sadari Propaganda di Balik Stereotip Buruk, John Pilih Islam

Share
Pada tahun 1990-an, John Clenn Howel, pindah dari rumahnya di area terpencil Ohio ke kota terbesar di Amerika, Chicago, Illinois. Di sana ia membangun hubungan dengan orang-orang yang ia kenal lewat acara musik underground di mana ia terlibat pula. Howell tinggal di Chicago selama lima tahun, masa yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Lingkungan tempat ia tinggal luar biasa beragam dengan populasi didominasi imigran. Ia melihat semua yang tinggal di sekelilingnya adalah orang-orang menari. "Orang asing justru mayoritas dan saya adalah minoritas," tulisnya dalam file catatan di akun Facebooknya. Dalam lingkungannya, berinteraksi sehari-hari dengan orang Serbia, Kroasia, Albania, Ukrania, Gipsi, Yahudi Hasidik, Khaldea, Suriah, Armenia, Rusia, Yunani, Pakistan, Afghanistan, India, Tibet dan sebagianya, adalah wajar. Namun melihat tidak norman melihat orang-orang nomaden berambut gimbal menggembala domba dari Asia Barat, atau pria Muslim tua dengan janggut dan turban.



Howell juga menyaksikan sejumlah wanita berkerudung secara misterius, membungkus tubuhnya dari atas hingga kaki dengan gaun hitam. Ia juga mendengar orang-orang berbicara dalam campuran bahasa berbeda. "Semua itu ada dan saya alami tepat di tengah situasi ultra-urban kota Chicago," ungkapnya. Bagi seseorang yang datang dari kawasan pedalaman terpencil, konstelasi masyarakat macam itu sangat memikatnya.


Ketika mulai berteman dengan beragam identitas di lingkunganya, Ia mulai mengalami perubahan besar dalam kesadaran. "Banyak tetangga saya ternyata adalah Muslim dan ketika semua stereotip buruk tentang mereka yang pernah saya terima muncul dalam ingatan, saya menyadari, betapa semua itu salah, tak bisa dipercaya dan sekedar propaganda," ujarnya.

Howell mengakui, sebelum ke Chicago, ia tidak pernah melakukan kontak sama sekali dengan Muslim di Ohio. Ia pun merasa perlu memahami siapa sebenarnya mereka. "Itu saya lakukan demi menerobos batasan prasangka sosial yang saya usung selama ini dalam budaya Amerika," kata Howell.

Teman Muslim pertamanya adalah seorang pria Afghanistan, bernama Sami berprofesi sebagai sopir taksi. Ia berusia sebaya Howell dan tinggal di sebelahnya persis. "Saya ingat pertama kali pergi bersamanya dan kami berkendara berkeliling di sekitar, saat itu saya berpikir, 'kamu harus berhati-hati, orang ini adalah Muslim dan tidakkah kamu selalu diberitahu bahwa orang-orang Muslim itu berbahaya dan mungkin menggorok lehermu demi mencuri apa pun dalam kantongmu?'

Betapa jahatnya itu! "Tapi itu yang diajarkan oleh masyarakat dan budaya itu. Beruntung, saya tidak memedulikan omong kosong itu dan saya gembira tak terkontaminasi dengan itu," ujarnya. Sebaliknya, ia menilai Sami adalah pria lucu yang menceritakan kisah terbaik dalam pengalaman hidupnya. "Saya akhirnya dekat dengannya dan seluruh keluarganya, sungguh pengalaman yang memperkaya hidup saya."

Berpikir mundur kembali ke tahun-tahun sekolah dasar, Howell dengan jelas masih mengingat sebuah pernyataan dari gurunya yang berkata, "Islam adalah agama pedang, dan siapa pun yang  hidup dengan pedang akan mati dengan pedang."

"Kini setelah hampir sepuluh tahun menjadi Muslim, saya tidak pernah sekali pun mendengar hal macam itu dalam ajaran Islam," ujarnya. Howell mengaku kini menyadari betul bagaimana pengondisian anti-Islam telah dimulai sejak masa kanak-kanak.

Dalam sekolah dasar ia juga mendapat tontonan film-film anti-Islam, seperti "El Cid" yang menggambarkan Muslim sebagai manusia jahat. Saat tumbuh besar, Howell kerap mendengar teman-teman sekolahnya menggunakan julukan seperti 'kepala handuk', 'negro pasir', 'penunggang unta'.

Beberapa guru sekolah bahkan mengklaim bahwa Muslim adalah 'orang yang kehitam-hitaman'. Namun ia mengaku beruntung keluarganya bukan pengolok, mereka adalah tipe yang menghormati dan menghargai orang lain. "Itulah yang menanamkan nilai-nilai dan etika moral yang seimbang dalam diri saya," tutur Howell.

Timbul pertanyaan serius pada Howell, "Bagaimana mungkin budaya begitu dungu dan penuh prasangka terhadap Islam. Ini adalah agama tua dari Timur Tengah, tapi ironisnya orang-orang saya sendiri juga mempraktekkan Islam dari Timur Tengah (Kristen) mereka juga berbagi nabi yang sama." Ia pun kian merasa butuh memahani antara kedua agama tersebut,"

"Saya pun ingin tahu sebenarnya tentang Muslim dan agama mereka, Islam," ujarnya. Ia pun mulai mencari jawaban sesungguhnya terhadap banyak pertanyaan. "Saya bukan hanya bertanya pada para Krisitiani. Saya juga mulai bertanya langsung pada Muslim," tutur Howell. Dari sanalah ia belajar bahwa Islam sungguh menghentak pikirannya.

"Saya kemudian memahami bahwa Muslim berasal dari manapun dan dari setiap ras. Ini sangat bertentangan dengan semua catatan perihal Muslim yang sebelumnya berkutat sebagian besar pada ras Arab," kata Howell. Fakta yang ia pelajari, Arab justru minoritas di kalangan Muslim. Ketika menengok sekitar, ia menemukan Muslim beraneka ragam. "Saja jumpai Muslim Cina, Filipina, Rusia, India, Turki, Persia, Latin, Afrika, Eropa dan juga Amerika di sekeliling saya."

No comments:

Post a Comment